Memahami Pancasila Secara Holistik
Oleh: Pradipto Niwandhono
Terinsipirasi oleh pengunduran diri Yudi Latif sebagai pimpinan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saya bermaksud mengulas tema Pancasila, khususnya dengan perspektif yang sejenis dengan karyanya “Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” (2011). Buku tersebut merupakan sebuah tinjauan mengenai Pancasila yang jauh dari sekedar tafsir normatif dari ideologi negara, melainkan suatu penelusuran historis yang dinamis dari kelima sila Pancasila. Dl sini perumusan Pancasila dilihat sebagai sebuah proses dialektis yang melibatkan para pendiri bangsa dalam menafsir pandangan hidup asli Indonesia dengan perspektif ideologi-ideologi modern Barat, maupun Islam sebagai salah satu faktor pemersatu Indonesia. Tulisan Yudi Latif tersebut menjadi penting dalam merevitalisasi Pancasila dalam iklim politik pasca-otoritarian, dimana Pancasila tidak lagi dilihat sebagai ideologi negara secara tertutup, melaikan suatu ideologi perekat keindonesiaan yang dinamis.
Dari pembacaan terhadap karya Yudi Latif tersebut, maka saya mencoba mengurai kembali berbagai tafsir terhadap Pancasila dan silang pendapat mengenai ideologi dasar negara tersebut. Dalam hal ini saya membagi uraian ini menjadi tiga bagian pertama mengulas hubungan Pancasila dengan nasionalisme, kedua dengan masalah agama dan kemanusiaan, dan terakhir dengan berbagai persoalan terkait keadilan sosial dan demokrasi (untuk menyesuaikan dengan aliran-aliran politik yang umunya dibagi menjadi tradisi nasionalis, Islam, dan sosialis-Marxis). Tulisan ini adalah suatu ajakan untuk memaknai kembali Pancasila secara menyeluruh (holistik)
Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu (Nasionalis)
Pertama kali harus diakui, bahwa penemu-ciptaan (invention) Pancasila lahir dalam suatu konteks sejarah tertentu yaitu perjuangan untuk mempersatukan dan menciptakan negara kebangsaan baru : Indonesia. Benar bahwa Pancasila dicetuskan sebagai filosofi dasar negara oleh Sukarno pada pidato di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, akan tetapi kelahiran Pancasila sesungguhnya melalui proses kesejarahan yang panjang. Setelah penemuan Pancasila oleh Bung Karno, ideologi negara ini telah mengalami berbagai perubahan dalam penafsiran makna seiring pergantian rezim atau kepemimpinan nasional, tetapi satu hal cukup jelas bahwa ideologi ini cenderung digunakan dalam fungsinya untuk mempersatukan atau memperkuat sentralisme kekuasaan negara. Dengan demikian Pancasila yang ditemukan oleh kaum nasionalis kemudian diambil alih untuk mendukung legitimasi kekuasaan militer, dengan asumsi bahwa hanya kaum militer yang berhasil menyelamatkan Pancasila dari ancaman ideologi tandingan yang ingin menghapuskannya — khususnya komunisme.
Untuk menjelaskan hubungan Pancasila dengan nasionalisme — ataupun etatisme (statisme), paham yang menganggap bahwa negara memiliki peran sentral, termasuk dalam melakukan intervensi atau rekayasa sosial ekonomis — perlu menguraikan latar belakang sejarah pemikiran di kalangan nasionalis. Pada dasarnya terdapat dua aliran besar dalam pemikiran politik Indonesia tentang bagaimana Indonesia terbentuk. Aliran pertama bisa disebut juga aliran ‘tradisionalis’ menganggap bahwa identitas Indonesia bersifat asali (primordial) dan negara-bangsa Indonesia merupakan penemuan kembali jatidiri yang hilang karena penjajahan asing, Mereka meyakini bahwa Indonesia pada dasarnya merupakan peradaban Timur yang secara esensial berbeda dari Barat. Sementara itu bagi kaum ‘modernis’ Indonesia adalah entitas baru yang tercipta dari solidaritas keagamaan Islam di satu sisi, serta kontak dengan peradaban Eropa di sisi lainnya.
Seperti telah dibahas dalam beberapa tulisan terdahulu, kelompok tradisionalis umumnya diwakili oleh kalangan ‘nasionalisme kejawen’ (Javanist nationalism). Mereka ialah kaum priyayi yang pada awalnya mendukung gerakan ‘asosiasi Barat dan Timur’ bersama kaum etisi kolonial untuk memajukan kebudayaan bumiputra (Jawa), tetapi kemudian terserap dalam arus-utama nasionalisme yang menghendaki kemerdekaan penuh dari negara kolonial. Figur utama dari kelompok ini adalah Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) pelopor dari gerakan pendidikan Taman Siswa, yang menyerukan suatu independensi dari sistem pendidikan kolonial dan kembali pada kearifan peradaban Timur. Mengenai politik, Ki Hadjar dan mazhab Taman Siswa mendukung suatu ‘demokrasi yang dilandasi oleh kebijaksanaan, demokrasi dengan kepemimpinan” yang lebih merepesentasi identitas bangsa Indonesia, bukan model Barat. Pemikiran ini tampaknya menginspirasi munculnya konsep ‘negara integralis’ dari R. Soepomo, pakar hukum adat yang juga ikut terlibat dalam perumusan dasar negara, dan tentu saja konsepsi Bung Karno sendiri mengenai ‘Demokrasi Terpimpin’ yang dicetuskan secara terbuka pada Februari 1957.
Menurut beberapa pengamat pemikiran politik otoritarian — seperti David Bourchier atau David Reeve — meskipun Sukarno bersama golongan kiri kemudian tersingkir dari kekuasaan politik, banyak dari gagasannya terkait Demokrasi Terpimpin dan Pancasila memiliki andil besar pada kemunculan negara militer-birokratis Orde Baru. Meskipun Pancasila pada dasarnya merupakan ideologi pemersatu dan lahir dari kompromi dan negosiasi antar aliran politik, konsep ‘Pancasila’ itu sendiri secara etimologis berasal dari kosakata Sanskrit dan cenderung memiliki penafsiran dengan bias Jawa-sentris. Pada akhirnya pandangan kalangan tradisionalis sendiri langsung atau tidak langsung mendorong penafsiran Pancasila yang cenderung tertutup dan terpusat pada negara, seperti dengan diadakannya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bagi semua pegawai negeri sipil pada masa Orde Baru.
Berlawanan dengan itu, golongan modernis yang pada umumnya memiliki pengaruh kuat di kalangan intelektual — banyak didukung oleh pergerakan kaum terpelajar di Sumatra khususnya Minangkabau — mendukung konsepsi kebangsaan yang lebih terdesentralisasi. Bagi mereka bangsa sebagai komunitas politik pada dasarnya terbentuk oleh solidaritas anti-kolonial dan bersifat voluntaristik, yaitu kesepakatan antar individu dalam suatu masyarakat majemuk dan multi-etnis. Dengan asumsi akan kebangsaan sebagai konstruksi politik anti-kolonial, maka kaum modernis lebih terbuka pada tafsir kebangsaan yang memberi peran sentral pada ideologi atau keyakinan pembentuk solidaritas anti kolonial yang kuat, baik Islamisme ataupun ideologi-ideologi yang terpengaruh Marxisme di sisi lain. Tetapi kebangkitan Islamisme sebagai ideologi yang memiliki klaim kuat sebagai pembangun solidaritas anti kolonial di kemudian hari juga menyimpan masalah tersendiri bagi kaum nasionalis.
Satu Ketuhanan, Satu Kemanusiaan
Satu pokok pikiran dan sila dalam Pancasila yang kerap menjadi pangkal perdebatan antara kelompok nasionalis dan religius atau Islamis ialah pengertian tentang ‘ketuhanan yang maha esa’. Bagi sebagian besar kalangan muslim taat (santri), prinsip Pancasila tersebut menunjukkan hubungan istimewa Pancasila dan Islam — bahkan memunculkan klaim bahwa Islam adalah inspirasi utama Pancasila — mengingat prinsip dasar Islam adalah ‘tauhid’ atau keesaan Tuhan. Dengan demikian kalangan Islamis memiliki kecenderungan untuk, pertama menganggap Islam sebagai agama yang paling sejalan dengan Pancasila dibanding agama lain, termasuk penerapan syariatnya dalam politik bernegara tidak berlawanan dengan Pancasila ; kedua, merasa berhak mengeksklusi kepercayaan non-religius (baca : tidak diakui secara legal sebagai agama oleh pemerintah) maupun ideologi yang dianggap bermuatan atheisme dan anti-Tuhan seperti Marxisme.
Pada periode pergerakan nasionalis, Islam politik atau Islamisme muncul dari gerakan pemurnian atau reformisme Islam di satu sisi, dan gerakan politik sebagai reaksi atas jatuhnya kekhalifahan Islam Turki Utsmani menjadi negara sekuler (1924) di sisi lain. Pada awalnya ‘Islam’ tidak saja dipahami sebagai agama tetapi juga penanda identitas kepribumian yang bersifat fleksibel, tetapi jelas bahwa ia bersifat anti-kolonial dan anti-Eropa yang diasosiasikan dengan Kristianitas dan kekafiran. Karena itu banyak rakyat pribumi di Jawa bahkan yang termasuk kategori ‘abangan’ dan tidak menerapkan ajaran Islam secara ketat, merasa nyaman saja mengadopsi identitas keislaman. Ini juga menjelaskan popularitas Sarekat Islam (SI) dimana keanggotaanya juga meliputi sejumlah tokoh berhaluan Marxis. Tetapi dengan munculnya arus baru Islamisme, gerakan sosial Islam selanjutnya lebih didominasi oleh motif politik untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam. Dalam proses perumusan dasar-dasar nation-state yang baru, pada awalnya antara kaum nasionalis dan Islamis terdapat kompromi dalam bentuk ‘Piagam Jakarta’ (tertanggal 22 Juni 1945) memuat rumusan Pancasila yang mengakui ‘kewajiban menjalankan syariat Islam khusus bagi para penganutnya’ sebagai tambahan dari prinsip ketuhanan. Karena mengkhawatirkan kemungkinan pecahnya perasatuan geopolitis Indonesia — bahwa kawasan Indonesia Timur yang meski berpenduduk jarang namun mayoritas Kristen akan memisahkan diri — maka konsep Piagam Jakarta tersebut kemudian dihapuskan dari naskah pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Menurut pandangan kaum Islamis, penghapusan Piagam Jakarta masih terus dianggap sebagai ‘pengkhianatan’ kaum nasionalis sekuler dan menjadi awal perseteruan panjang kedua kelompok tersebut.
Dalam memaknai prinsip ‘ketuhanan yang esa’ atau ‘keesaan Tuhan’ memang terdapat perselisihan pemaknaan yang cukup mendasar. Bagi kalangan Islamis jelas bahwa ‘ketuhanan yang esa’ mengimplikasikan ketaatan pada Tuhan tanpa syarat, termasuk mematuhi ketentuan (syariat) untuk menjadi pedoman hidup manusia dalam semua aspek termasuk politik-kenegaraan. Pandangan ini berbeda dengan kalangan nasionalis yang pada dasarnya netral-agama dan sebagian dipengaruhi ajaran-ajaran spiritual (kejawen atau Teosofi), dimana pengertian ‘ketunggalan’ Yang Ilahi pada dasarnya mengimplikasikan ‘kesatuan’ dalam kemanusiaan. Pengakuan pada ketunggalan Tuhan sebagai sumber eksistensi dan kehidupan memiliki arti bahwa manusia berasal dari sumber ilahiah yang sama dan pada akhirnya sampai pada keyakinan bahwa kemanusiaan adalah suatu kesatuan atau persaudaraan universal. Itulah mengapa sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ tidak bisa dilepaskan dari prinsip lain yang menjadi refleksi darinya yaitu ‘kemanusiaan universal’, yang disejajarkan dengan ‘internasionalisme’ menurut Bung Karno
Pada dasarnya elemen humanis yang hampir bersifat inter-nasionalis — memandang perjuangan ‘nasion’ Indonesia sebagai bagian dari gerakan emansipasi (pembebasan) kemanusiaan yang lebih luas — hampir selalu terdapat pada pemikiran nasionalis. Ciri sebagai ‘agama humanis’ hampir selalu ada dalam esoterisme Barat dan hal ini jelas terlihat dalam gerakan Teosofi. Demikian pula dalam pemikiran nasionalisme bercorak ‘Indisch’ dari golongan peranakan Eropa maupun orang-orang Indonesia yang menempuh pendidikan di Negeri Belanda (Nederland), yang salah satu tujuan utamanya adalah menghapus pemisahan antar golongan etnis dan rasial dan mewujudikan kewarganegaraan dan kebangsaan Hindia (Indonesia) multi-etnis. Meski demikian semangat humanitarian dalam nasionalisme Indonesia — ataupun dalam rumusan Pancasila — pada dasarnya lebih merupakan gagasan abstrak dimana kemanusiaan lebih dibayangkan sebagai kolektivitas alih-alih individual dengan tujuan menciptakan tatanan yang berkeadilan.
Demokrasi Kolektivis dan Keadilan Sosial
Dalam pidato ‘kelahiran Pancasila’ 1 Juni 1945, Sukarno menguraikan bahwa lima prinsip Pancasila pada dasarnya dapat ‘diperas’ menjadi trisila : Ketuhanan, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi, dan dari ketiganya dapat diambil satu prinsip dasar saja yaitu ‘gotong royong’. Ungkapan tersebut menunjukkan suatu idealisme para pendiri bangsa untuk mendirikan negara demokrasi yang bersifat kolektivis dan egalitarian, bukan berdasarkan pada kebebasan individual sebagaimana dianut negara-negara Barat. Hal ini kurang lebih paralel dengan pokok pemikiran filsuf Pencerahan, J.J Rousseau dalam ‘The Social Contract” (1762) mengenai demokrasi sebagai perwujudan ‘kehendak umum’.. Pengertian tentang ‘demokrasi’ yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya lebih mengacu pada pengambilan keputusan politik menurut pemufakatan (konsensus) untuk mencapai ‘kesejahteraan (keadilan) sosial’, daripada suatu bentuk tatanan politik yang menitikberatkann pada perlindungan hak sosial-ekonomi individual (sebagai dasar kapitalisme Eropa).
Penekanan pada sisi egalitarian sekaligus kolektivis dari Pancasila ini menjelaskan pula kontribusi pemikiran sosialis dan Marxis dalam perumusan Pancasila — jika kita melihatnya secara utuh. Dalam kaitan dengan pengaruh Marxis dan gagasan sosialistik di kalangan kaum pergerakan (nasionalis) memunculkan beberapa varian ideologis. Kelompok modernis yang terpengaruh sosialisme demokratik melahirkan paham ‘sosialisme kerakyatan’ dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), suatu versi lain sosial demokrasi ala Indonesia, dan ‘sosialisme religius’ yang mempengaruhi beberapa cendekiawan Masyumi dan kalangan yang lebih liberal dari Islam modernis. Sementara itu kalangan tradisionalis dan nasionalisme arus-utama yang mengikuti garis ideologis Sukarno mewarisi ajaran ‘Marhaenisme’ suatu konsep sosialisme eklektik khas Sukarno.
Kaum modernis yang umumnya terpengaruh oleh aliran sosial-demokrasi Eropa, sebenarnya juga memiliki variasinya sendiri. Sutan Sjahrir (1909-1966) dan kelompok PSI-nya merupakan pengusung model sosialisme Fabian ala Inggris, sementara Mohammad Hatta (1902-1980) lebih mendukung suatu kombinasi antara praktek ‘demokrasi asli Indonesia’ yang dipraktekkan di komunitas pedesaan dengan model sosialisme Owenite — pengikut pemikiran Robert Owen — dengan mengutamakan gerakan koperasi sebagai fondasi ekonomi ‘kerakyatan’ (sosialis) yang bersifat independen. Meski demikian terdapat kesamaan umum antara kelompok berorientasi sosdem di Indonesia yaitu bahwa tujuan utamanya bukan untuk menghancurkan tatanan kapitalisme, kelas pemilik modal dan pasar bebas — sebagaimana kaum Marxis ortodoks — melainkan memperjuangkan keadilan sosial dalam kerangka sistem ekonomi kapitalistik. Dengan demikian kaum sosdem menjadi pendukung utama sistem ‘demokrasi konstitusional’, mendukung terbentuknya golongan teknokrat yang mengadaptasi pengetahuan Barat dalam perencanaan nasional dan mendukung pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing. Mereka pada umumnya berbenturan dengan aspirasi kaum tradisionalis, Marxis dan Sukarnois selama dekade 1950-an dan 1960-an. Adanya Perang Dingin menyebabkan pertentangan kedua kubu menjadi tajam.
Kaum Sukarnois bertolak dari ajaran yang umumnya disebut ‘marhaenis’. Marhaenisme ditemukan oleh Sukarno sekitar tahun 1926 sebagai doktrin perjuangan untuk mewakili komunitas petani atau rakyat jelata yang dimiskinkan oleh eksploitasi feodal dan kapitalisme kolonial. Tujuan akhirnya ialah menciptakan “masyarakat yang berkeadilan sosial dan sesuai dengan prinsip ‘gotong royong’ (Jeanne Mintz, “Muhammad, Marx, Marhaen, hlm 178). Belakangan Sukarno mengklaim bahwa Marhaenisme merupakan “Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia”. Jelas bahwa konsep ideologis Sukarno tidak bertumpu pada konsep dasar Marxis mengenai pertentangan kelas antara borjuasi dan proletariat — karena pendukung utama ideologis Sukarno adalah borjuasi kecil dan birokrat tradisional — melainkan pada upaya penghancuran terhadap tatanan eksploitatif dari ekonomi kolonial. Pendekatan yang paralel dengan Sukarno, meski lebih dianggap sebagai suatu ‘sempalan’ dalam aliran komunis Indonesia adalah ‘komunisme nasional’ dari Tan Malaka, yang kemudian mendirikan Partai Murba. Meski berpijak dari Marxisme ortodoks, kelompok ini menentang kebijakan komunisme internasional dan banyak tokoh pengikut aliran ideologis Tan Malaka pada akhir tahun 1950-an menjadi pendukung Demokrasi Terpimpin Sukarno yang bersemangat meski menentang meluasnya pengaruh PKI dalam pemerintahan.
Implikasi ekonomis dari doktrin Sukarnois tersebut berujung pada dekolonisasi dan nasionalisasi ekonomi dalam bentuk pengambilalihan terhadap properti swasta asing dan peninggalan kolonial pada tahun 1957-1958, yang disusul oleh munculnya dua visi yang saling berbenturan : kapitalisme negara yang didukung militer dan jajaran birokrasi di satu sisi, dan reformasi agraria kaum komunis untuk mengembalikan tanah swasta dan peninggalan kolonial menjadi tanah komunal. Benturan antara dua kubu tersebut melahirkan tragedi nasional 1965-66 dan kelahiran rezim Orde Baru yang sebagai akibatnya telah menghancurkan sebagian besar visi egalitarian dan sosialistik yang terkandung dalam Pancasila dari wacana ideologi negara.
Referensi Utama :
Yudi Latif, 2011. “Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila”, Jakarta, Gramedia
Referensi Pendukung
Bob Hering, “Sukarno Bapak Indonesia Merdeka : Biografi 1901-1945”, Jakarta, Hasta Mitra
David Reeve, 2013. “Golkar Sejarah Yang Hilang”, Jakarta, Komunitas Bambu
Jeanne S. Mintz, 2002. “Muhammad, Marx, Marhaen : Akar Sosialisme Indonesia”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
R.E. Elson, 2009. “The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan”, Jakarta, Serambi