Mengenal Vivek Neelakantan, Dosen Tamu FIB dari India
MENGENAL VIVEK NEELAKANTAN, DOSEN TAMU FIB DARI INDIA
Dr. Vivek Neelakantan, ahli sejarah kesehatan Indonesia, diundang ke Fakultas Ilmu Budaya, Unair sebagai visiting fellow (Dosen Tamu) untuk memberi materi workshop berupa tips-tips dan pelatihan penulisan jurnal dalam kegiatan writing clinic bersama para dosen.
Foto: Dr. Vivek Neelakantan di depan patung Airlangga
Foto: Dr. Vivek Neelakantan (tengah) bersama kedua pembimbing disertasinya, sejarawan dan akademisi Dr. Hans Pols (kiri) dan Dr. Warwick Anderson (kanan).
Umumnya, tak banyak orang menyukai pelajaran Sejarah karena menganggap subjek tersebut panjang, membosankan, dan identik dengan hafalan. Uniknya, Dr Vivek Neelakantan justru sangat menyukai dan pada akhirnya menseriusi bidang tersebut hingga akhirnya bergelar doktor. Tak main-main, fokus studi beliau ialah sejarah kesehatan di Indonesia, sebuah bidang yang selama ini cukup jarang didengar orang awam.
Berasal dari Mumbai, India Selatan, Pak Vivek memperoleh gelar BA (studi S1) dari University of Mumbai di Departemen Sejarah, Sathaye College, pada tahun 2002. Beliau lantas melanjutkan S2 di departemen dan universitas yang sama dan lulus pada tahun 2004. Oleh karena masih ingin mendalami sejarah kesehatan di Indonesia, beliau kembali mengambil S2 di University of Madras, India, tepatnya di Centre for South and Southeast Asian Studies dan menyusun tesis dengan judul “Public Health Policy in Indonesia” atau “Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Indonesia”, lalu lulus di tahun 2008. Lantaran masih merasa ilmunya kurang, Pak Vivek sekali lagi mengambil studi S2 di University of Iowa, Amerika Serikat, sembari memperdalam mempelajari Bahasa Indonesia, dan menulis esai tesis berjudul “Eradicating Smallpox: The Archipelago Challenge, Indonesia 1948-1974” dan lulus di tahun 2008. Akhirnya, beliau mengambil studi doktoral di University of Sydnet, Australia, di Unit for History and Philosophy of Science, dengan judul disertasi “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia: Social Medicine, Public Health, and Medical Education, 1949-1967”, lalu lulus di tahun 2014.
Sebagai seorang akademisi dan sejarawan yang antusias, Pak Vivek telah banyak memiliki pengalaman sebagai dosen maupun peneliti. Mulai tahun 2015 hingga saat ini, beliau menjadi Postdoctoral Fellow di Department of Humanities and Social Sciences, IIT Madras (The Indian Institute of Technology), Chennai, India. Di tahun 2015, beliau pernah menjadi dosen tamu di Departemen Antropologi di Universitas Andalas, Padang, dan dari Maret 2015 hingga Juli 2015 menjadi konsultan riset dan penerjemah untuk Australian Research Council Discovery Project dengan judul proyek, “Reimagining Indonesian Psychiatry: Past, Present and Future” di University of Sydney, Australia. Dengan banyak pengalaman riset pula, Pak Vivek sering menerima dana hibah dari sejumlah institusi perpustakaan, yakni Dwight Eisenhower Presidential Library dan Truman Library Institute di tahun 2017, lalu HOMSEA Conference Grant di tahun 2016, 2014, dan 2010. Beliau berulangkali memperoleh kesempatan menjadi Visiting Scholar di Southeast Asia Program, Cornell University pada 2016, Visiting Fellow di Centre for History and Economics, University of Cambridge di tahun 2013, Visiting Scholar di KITLV pada tahun 2011, memperoleh Crossing Borders Fellowship di University of Iowa pada tahun 2006-2007. Selain itu, Pak Vivek memiliki sederet publikasi berupa 3 artikel jurnal ilmiah internasional, 3 bab buku, 2 esai review, 5 artikel newsletter, 13 artikel ulasan buku, 14 makalah konferensi, dan menjadi reviewer untuk jurnal-jurnal seperti Social History of Medicine, Women’s History Review, Medical History, Development and Change, dan lain sebagainya.
Dalam wawancaranya, Pak Vivek menyebut bahwa dirinya paling selalu tertarik mempelajari istilah-istilah penyakit dan dunia kesehatan di era Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, yakni sekitar tahun 1950an. Menurut beliau, ketika Indonesia menyatakan diri merdeka di tahun 1945, sesungguhnya kemerdekaan Indonesia masih berupa kemerdekaan politik, namun bukan kemerdekaan ekonomi. Sekitar tahun 1955-1958, barulah Indonesia mulai bisa independen dalam hal ekonomi. Pada tahun-tahun tersebut, organisasi-organisasi dunia seperti PBB dan WHO bekerja sama dengan Indonesia demi membangun kesehatan, karena bagi era Soekarno, kesehatan dilihat sebagai sebuah status simbolik, yakni sebagai kendaraan untuk membangun negara dan bangsa. “Rakyat sehat, negara kuat,” begitu ucap Pak Vivek sembari menggambarkan situasi di era pemerintahan Soekarno dengan antusias. Beliau juga menyatakan diri tertarik dengan ejaan lama yang biasa digunakan di Indonesia pada tahun 1928, yang lebih banyak mengacu pada Bahasa Melayu. Contohnya ialah kata penyakit cacar yang dulunya dieja ‘Tjajar’, namun begitu memasuki tahun 1973, kata tersebut berganti menjadi ‘Cacar’, yakni dengan tulisan ejaan Bahasa Belanda namun Bahasa Indonesia.
Terakhir, ketika ditanya mengapa seorang akademisi dari India bisa begitu tertarik dan berminat mempelajari sejarah kesehatan Indonesia, Pak Vivek dengan wajah berseri-seri berkata bahwa ketika beliau masih duduk di bangku SMA pada tahun 1998, beliau turut mendengar dan membaca bagaimana peliknya situasi kejatuhan Orde Baru sekaligus rezim pemerintahan Soeharto di Indonesia. Menurutnya, menarik sekali bahwa walau situasi di Indonesia saat itu sedang kacau-balau, namun dengan cepat negara dapat segera mentransformasi pemerintahannya menjadi era Reformasi, sekaligus mengganti begitu banyak aturan dan kebijakan baik dalam segi kesehatan maupun politik, bahkan sebelum masuk tahun 2000. Ketertarikannya terhadap perubahan dan transformasi sosial di Indonesia yang bergerak begitu cepat itulah yang membuat Pak Vivek lantas memutuskan untuk memperdalam minat intelektualnya dalam mempelajari sejarah kesehatan di Indonesia, yang seringkali terkait erat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. (ana/kkh)